Istilah “postmodernisme” selalu berhadapan dengan aliran marxisme, eksistensialisme, kritisisme, idealisme, dan aliran lainnya. Banyak isur yang berbicara tentang “postmodernisme“, tetapi realitasnya filsuf menjabarkan “pemikiran pascamodernisme“, seperti pemikiran filsuf Derrida amat beraneka ragam pemikirannya.
Istilah-istilah yang sering digunakan oleh penulis referensi filsafat lebih sering mengungkapkan seluruh kata “postmodernisme” dan menggantinya dengan “posmo”, sesuai dengan gaya berpikir mitologis dan parsial, di mana yang penting simbolnya saja, bukan apa maksud sebenarnya.
Meskipun demikian, pemikiran “posmo” itu banyak digunakan, tetapi tidak ada satu kesatuan paham. Namun, ada sesuatu yang mempersatukan pendekatan-pendekatan itu untuk menyamakan perbedaan tersebut. Filsafat modern cenderung muncul dalam bentuk-bentuk berbeda, tetapi wujudnya sama dan kesamaan itu berbagai macam gaya berpikir yang ditemukan unsur “posmo”nya itu.
Ide-ide modernis dalam filsafat dan analisis budaya dan masyarakat memperluas pentingnya teori kritis dan telah menjadi titik tolak untuk karya sastra, arsitektur, dan desain, serta dapat dilihat dalam pemasaran/bisnis dan interpretasi sejarah, hukum dan budaya, dimulai pada akhir abad ke-20.
Perkembangan ini, revaluasi dari keseluruhan sistem nilai Barat (budaya populer, pergeseran dari industri ke layana ekonomi) yang berlangsung sejak 1950-an dan 1960-an, dengan puncak dalam Revolusi Sosial tahun 1968 yang digambarkan dengan istilah postmodernis, sebagai lawan modernisme, sebuah istilah mengacu pada suatu pendapat atau gerakan.
Sedangkan sesuatu yang membuat bagian dari gerakan ini, menjadi yang “postmodern” akan menempatkan dalam jangka waktu sejak tahun 1950-an, membuatnya menjadi bagian dari sejarah kontemporer (Kuswana, 2013: 62-63). “modernis” akan Aliran postmodernisme lebih ke suasana atau naluri yang berbasis kecenderungan pemikiran eksplisit. Kecenderungan itu dilihat dari ekspresi sebagai sarana konseptual yang berbeda satu sama lain.
Daftar Isi
Konsep Pemikiran Postmodernisme
Dengan kata lain, istilah postmodernisme adalah payung konseptual untuk melihat kesamaan di antara mereka yang tidak sama. Postmodernisme mengorganisasikan ilmu pengetahuan di sekitar personal, intuitif, dan epistemologi yang bersifat subjektif tidak bebas nilai, sedangkan modernisme menganggap ilmu itu bebas nilai.
Permasalahannya adalah hubungan ilmu pengetahuan dengan sistem nilai merupakan bidang kajian aksiologi di masa sebelumnya. Hal ini banyak menyangkut pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam hubungannya dengan moral (Jalaluddin, 2013: 67).
Postmodernisme memiliki dua pendekatan metodologis, yaitu (1) interpretasi anti objektivitas dan (2) dekonstruksi. Postmodernisme sebagai paradigma tidak memiliki tubuh yang utuh seperti modernisme, tetapi mempresentasikan bersatunya unsur-unsur dari orientasi yang berbeda-beda dan bahkan bertentangan (Soetriono dan Hanafie, 2009: 29).
Sebagai paradigma baru, postmodernisme merupakan antitesis dari modernisme, yang dinilai telah gagal dan tidak relevan lagi bagi perkembangan zaman. Menurut Lyotard, modernisme tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern. Dalam pandangan Zygmunt Bauman bahwa zaman modernis dianggap sebagai sia-sia akibat dari tekanan yang bersumber dari prasangka belaka (Akhadiah dan Listyasari, 2011: 92).
Asas-Asas Pemikiran Postmodernisme
Adapun Asas-asas pemikiran postmodernisme adalah:
-
- Keuniversalan suatu pemikiran,
- Penekanan akan terjadinya pergolakan pada identitas personal maupun sosial secara terus-menerus, sebagai ganti dari permanen yang amat mereka tentang,
- Pengingkaran atas semua ideologi. Tidak mau terkungkung dan terjebak dalam satu bentuk pemikiran filsafat tertentu, dan
- Tidak memiliki asas-asas yang jelas yang bersifat universal dan permanen (Akhadiah dan Listyasari, 2011: 29).
Dalam pandangan Dahler, postmodernisme memiliki sisi positif dan negatifnya. Sikap konsumtif dalam arus postmodernisme diartikan sebagai aliran yang mengutamakan pluralisme radikal dalam segala bidang hidup, sehingga tidak terdapat nilai-nilai yang mutlak, pedoman hidup yang pasti, dan semua serba relatif.
Segi positifnya terletak pada keterbukaan untuk kebhinnekaan masyarakat, untuk toleransi, perlawanan terhadap monopoli, dominasi agama, aliran dan ideologi tertentu, hingga menguntungkan demokrasi.
Namun, di balik itu akan berkembang individualisasi, kecenderungan kuat untuk realisasi diri sendiri dengan melepaskan diri dari ikatan keluarga, masyarakat, dan agama. Intinya yang dicari adalah kesenangan (Dahler dan Budianta, 2000: 260).
Implikasi Postmodernisme dalam Pendidikan
Aliran postmodernisme menekankan pada sistem sekolah yang melalui pembaruan bidang pendidikan, demokratisasi kehidupan sekolah, dan pelatihan guru. Kritik yang disampaikan postmodernisme ke modernisme terjadinya pembaruan sistem sekolah ke arah vang lebih baik. Perbaikan sistem sekolah ke arah yang lebih baik dengan peningkatan efektivitas proses pembelajaran.
Filsafat postmodernisme memiliki beberapa keunggulan pada tatanan sosial yang mengutamakan pluralitas dan tidak menonjolkan pada satu pihak. Jika dihubungkan dengan sekolah, mengutamakan pluralitas, maka akan terjalin kerja sama antarsekolah agar dapat berkembang dengan sekolah-sekolah lainnya.
Filsafat postmodernisme menekankan demokrasi atau kebebasan di sekolah dengan etika yang dibangun dengan baik. Setiap orang yang ada di sekolah itu dapat memberikan kontribusi dalam peningkatan mutu sekolah tersebut.
Kemudian, postmodernisme mewujudkan adanya demokrasi di sekolah agar setiap tenaga pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah dapat memberikan saran ke arah perbaikan. Dengan terjadinya perbaikan di sekolah, masyarakat atau stakeholder di sekolah akan merasakan manfaatnya.
Khususnya, manfaat yang bisa dirasakan dalam proses pembelajaran peserta didik mudah memahami materi pelajaran yang disampaikan oleh guru, dan bermuara pada kualitas pembelajaran di sekolah akan menjadi lebih baik. Guru harus membimbing siswa agar materi pelajaran yang dipelajarinya di sekolah akan dapat diaplikasikannya dalam dunia nyata.
Semua teori-teori yang dipelajari di sekolah harus dapat ditransfer oleh siswa ke dalam dunia nyata. Dengan dapatnya siswa mentransfer materi pelajaran yang telah dipelajarinya di sekolah, maka tingkah laku siswa akan baik dan hasil pelajaran yang telah dipelajarinya di sekolah akan berguna.
Guru juga membimbing sikap siswa agar menjadi orang yang baik dengan mengajarkan siswa-siswa cara-cara menjadi orang yang baik. Di samping itu, guru-guru diarahkan untuk meningkatkan profesionalitas mereka dengan mengadakan pelatihan-pelatihan secara berkelanjutan.
Pelatihan itu akan berdampak pada perbaikan kualitas tenaga pendidik, tenaga kependidikan, untuk menunjang keberhasilan dalam proses pendidikan di sekolah.
Pembelajaran yang beraliran postmodernisme meningkatkan sikap menghargai budaya lokal atau kearifan lokal sebagai aset kekayaan bangsa. Guru yang sudah memiliki pandangan postmodernisme akan memiliki pandangan bahwa kreativitas peserta didik dalam belajar harus dikembangkan agar dapat berkreasi dan berpikir imajinatif dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah. Kreativitas peserta didik akan membuat peta konsep dari materi pelajaran agar lebih mudah untuk memahami materi yang dipelajarinya.
Demikianlah informasi mengenai topik yang berjudul Arti Postmodernisme dan Implikasinya Dalam Pendidikan. Semoga informasi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Sekian dan terima kasih. Salam berbagi teman-teman.