Landasan Teori Revitalisasi Pertanian: Mazhab Neoklasik, Strukturalis & Mazhab Populis



Strategi revitalisasi pertanian adalah salah satu dari strategi tiga jalur (triple-track strategy) yang digunakan Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden SBY.

Selengkapnya, ketiga jalur strategi itu adalah: (1) peningkatan investasi dan ekspor untuk mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6,5 persen per tahun; (2) pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru; dan (3) revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan.

Strategi tiga jalur ini memang agak ideal dan mirip buku teks ekonomi pembangunan, dan konon dianggap sebagai manifestasi dari strategi pembangunan yang lebih pro-growth, pro-employment dan pro-poor yang saat ini menjadi referensi penting negara-negara di dunia..

Hasil besar berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat akan mampu diperoleh apabila strategi tersebut mampu diterjemahkan menjadi langkah kebijakan konkrit serta dapat dilaksanakan secara konsisten di lapangan.



Akan tetapi, strategi tersebut hanya akan menjadi retorika belaka jika hanya menjadi jargon-jargon kebijakan dan tidak mampu dilaksanakan secara nyata di lapangan.



Track ketiga, yaitu revitalisasi pertanian memiliki peluang yang sama besar untuk hanya menghasilkan jebakan retorika, apabila stimulasi ekonomi yang dicanangkan pada tahun pertama dan sepanjang lima tahun Kabinet Indonesia Berasatu tidak membawa dampak langsung pada ekonomi petani dan perekonomian pedesaan umumnya.



Beberapa landasan teori dan mazhab pemikiran yang dapat digunakan untuk aplikasi strategi revitalisasi pertanian dapat diikhtisarkan sebagai berikut:

Mazhab Neoklasik

Dalam teori ekonomi pembangunan modern – yang sedikit neoklasik, sektor pertanian dapat dikatakan telah kembali vital atau menjadi basis pembangunan ekonomi suatu bangsa – apalagi pada kasus negara agraris seperti Indonesia – apabila telah menjadi pengganda pendapatan (income multiplier) dan pengganda tenaga kerja (employment multiplier).

Pengganda pendapatan maksudnya bahwa sektor pertanian menghasilkan tambahan pendapatan bagi aktivitas ekonomi yang berhubungan langsung dengan sektor pertanian, seperti agroindustri dan off-farm lainnya.

Pengganda tenaga kerja maksudnya bahwa sektor pertanian mampu menciptakan lapangan kerja baru di luar sektor pertanian, terutama karena begitu tingginya keterkaitan sektor pertanian dengan industri pengolahan hasil pertanian yang mampu menciptakan nilai tambah (forward linkages) dan meningkatkan sarana produksi dan infrastruktur ekonomi lainnya (backward linkages). Langkah stimulasi ekonomi dengan program pembangunan infrastruktur besar-besaran – apalagi hanya skala besar dan fokus di tingkat perkotaan termasuk dalam kategori pemikiran yang liberal tersebut.

Dalam hal ini, tentu saja tidak terdapat keyakinan pemahaman bahwa sektor pertanian akan berfungsi sebagai tumpuan harapan bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatannya hanya dari sektor pertanian.

Petani harus mencari tambahan penghasilan dari luar sektor pertanian, apabila masih ingin bertahan hidup, karena penghasilan dari sektor pertanian tidak akan cukup untuk menanggung tambahan biaya hidup yang semakin tidak terjangkau petani.

Demikian pula, terlalu salah apabila beranggapan bahwa sektor pertanian akan digunakan sebagai penyerap angkatan kerja yang mengalami pertumbuhan sangat cepat.

Produktivitas sektor pertanian yang cukup rendah saat ini, misalnya dalam produk pangan sampai saat ini belum ada lagi kisah spektakuler seperti pada Revolusi Hijau sekitar satu generasi yang lalu yang mampu meningkatkan produktivitas empat kali lipat.

Akibatnya, produktivitas tenaga kerja yang terlibat dalam sektor pertanian pasti cukup rendah karena tambahan tenaga kerja masih lebih cepat dibanding pertumbuhan kapasitas produksi pertanian, terutama bahan pangan.

Dengan kata lain, mengandalkan penyerapan dan tambahan produktivitas tenaga kerja hanya dari sektor pertanian tidak akan mampu menolong mereka yang bahkan terlibat langsung dalam sektor pertanian.

Menurut mazhab neoklasik ini, stimulasi ekonomi pedesaan yang dicanangkan pemerintah dengan pembangunan infrastruktur seperti jalan produksi, jalan desa, saluran irigasi dan drainase menjadi begitu vital.

Dampak langsung berupa peningkatan kesejahteraan petani dari investasi publik seperti itu memang tidak akan terlihat dalam waktu satu-dua tahun atau bahkan satu periode pemerintahan. Di mana pun di dunia, investasi publik seperti itu baru akan menuai hasil pada jangka menengah panjang, bersamaan dengan upaya konsisten peningkatan produktivitas dan efisiensi di sektor pertanian umumnya.

Lebih penting lagi, selama ini yang sangat berjasa dalam investasi sektor pertanian adalah petani atau masyarakat sendiri, bukan pemerintah apalagi sektor swasta. Hasil studi Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor (PSP-IPB) menunjukkan bahwa kontribusi community investment ini mencapai 68 persen (pada kasus komoditas beras dan karet), jauh lebih besar dibandingkan dengan kontribusi investasi publik (pemerintah) dan şektor swasta yang tercatat masing-masing hanya 24 persen dan 8 persen (lihat Krisnamurthi, 2005).

Mazhab Strukturalis

Sektor pertanian dapat dikatakan revive atau hidup kembali apabila pendapatan petani telah meningkat dan kesejahteraannya membaik. Oleh karena itu, seluruh energi yang ada perlu diarahkan pada peningkatan kesejahteraan petani serta sektor pertanian dan pedesaan umumnya.

Indikator ini memang merupakan perpaduan antara kinerja kuantitatif berupa berkurangnya angka-angka kemiskinan, terutama di pedesaan dan angka-angka kinerja kualitatif berupa rumusan kebijakan yang seluruhnya mengacu pada posisi sektor pertanian dalam kebijakan pembanguan ekonomi.

Saat ini terdapat 36 juta penduduk miskin atau 17 persen dari total penduduk Indonesia. Lebih dari 15 juta orang miskin tersebut berada di daerah pedesaan dan umumnya terlibat atau berhubungan dengan sektor pertanian.

Sebagian besar (72 persen) dari kelompok petani miskin adalah pertanian pangan (Data Badan Pusat Statistik, 2004), suatu ironi yang membuat miris mengingat kelompok petani inilah yang sangat berjasa bagi pembangunan pertanian dan pembangunan ekonomi Indonesia selama ini.

Rasanya tidak perlu diulang lagi di sini bahwa kebijakan pembangunan pertanian yang ditempuh Indonesia pasca krisis ekonomi atau tepatnya sejak pertengahan 1990an seakan serba salah, tetutama karena tidak menempatkan petani sebagai sebagai subyek paling penting, berharga, dan harus dilindungi dalam percaturan ekonomi global yang semakin keras dan kadang tidak beradab.

Kebijakan ekonomi dan upaya proteksi yang dimaksudkan untuk melindungi petani, seperti kebijakan pelarangan impor beras, tataniaga impor gula, pengenaan pajak ekspor kakao dan minyak sawit mentah-CPO. ternyata masih jauh dari sasaran.

Alih-alih bermanfaat bagi petani dan sektor pertanian, kebijakan tersebut yang telah menimbulkan distorsi ekonomi lanjutan karena hasilnya dinikmati orang lain, kelompok di luar petani.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009, sebenarnya terdapat beberapa agenda aksi revitalisasi pertanian yang dirumuskan pemeritah. Sepintas, program-program yang digulirkan memang tidak terlalu struktural, kecuali satu, yaitu program peningkatan kesejahteraan petani (nomor 3 dalam Bab 19 RPJM).

Paling tidak, pencantuman secara eksplisit tersebut seakan memberi harapan perbaikan karena program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing masyarakat pertanian, terutama petani yang tidak dapat menjangkau akses terhadap sumberdaya usaha pertanian.

Akan tetapi, langkah kebijakan yang dilakukan untuk meningkatkan kesejaterhaan petani tersebut masih takan terlihat hasilnya sekian tahun mendatang. Misalnya dalam program revitalisasi sistem penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan yang secara intensif, langkah integrasi dengan program sejenis di tingkat daerah (propinsi dan kabupaten) wajib dilakukan.

Benar bahwa penumbuhan dan penguatan lembaga pertanian dan perdesaan menjadi sangat strategis. Akan tetapi hasil nyata berupa perbaikan posisi tawar petani, peternak dan nelayan relatif terhadap pedagang dan konsumen baru akan terlihat beberapa tahun ke depan.

Tantangan besar untuk melaksanakan strategi revitaslisasi pertanian menurut mazhab strukturalis ini dapat dibagi menjadi dua level. Level pertama, tantangan tersebut berhubungan dengan ketidakmampuan birokrasi dan para pejuang sektor pertanian untuk meyakinkan para wakil rakyat dan penentu alokasi anggaran negara, baik di pusat dan maupun di daerah, untuk memberikan dukungan penuh pada revitalisasi pertanian.

Level kedua, tantangan berhubungan dengan dominasi birokrasi yang berlebihan pada program revitalisasi pertanian seperti pada kasus penysunan RPJM. Maksudnya, beberapa landasan stragis dan filosofis dikhwatirkan akan tereduksi menjadi kegiatan proyek pembangunan yang sangat mekanistis dan administratif belaka, sehingga terlalu jauh dari misi pembangunan pertanian menuju revitalisasi yang sebenarnya.

Mazhab Populis

Revitaliasi pertanian dapat dikatakan berhasil apabila telah pembangunan pertanian yang dijalankan mampu mengentaskan masyarakat petani dan warga pedesaan lain dari jeratan dan belenggu kemiskinan.

Pemahaman ekonomi pembangunan modern – bahkan mazhab neoliberal sekalipun telah semakin percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan sektor pertanian semata tidak akan mampu memberantas kemiskinan. Para perumus kebijakan di negeri ini harus secara terus terang menunjukkan pemihakan yang serius, memberikan perhatian penuh pada petani dan kelompok miskin lainnya – minimal menunjukkan sense of emphaty terhadap penderitaan rakyat.

Langkah yang paling dasar adalah malaksanakan aktivitas kebijakan pembangunan ekonomi dan sosial yang menyentuh kelompok miskin secara langsung, melalui investasi besar-besaran di bidang hak hak dasar masyarakat dalam sektor kesehatan, kecukupan gizi, serta pendidikan dasar dan menengah.

Untuk kelompok masyarakat yang sangat kekurangan, kaum marjinal dan rentan terhadap gejolak rawan pangan dan gangguan eksternal lain, pemerintah pusat dan daerah tidak harus berpikir dua kali untuk memberikan bantuan sosial dan cuma-cuma.

Program yang mengarah pada income-transfer dan safety-net tentu diperlukan untuk mengatasi pesoalan dalam jangka pendek. Kasus-kasus ledakan virus polio liar di beberapa tempat di pedesaan Indonesia karena buruknya sanitasi dan antisipasi perumus kebijakan, penderitaan batin anak-anak miskin yang tidak mampu membayar uang sekolah dasar sampai harus mencoba mengakhiri hidupnya karena program wajib belajar belum mampu diyakini sepenuhnya.

Maksudnya cerita sedih yang sangat memiriskan perasaan seperti itu tidak boleh terjadi lagi dalam satu-dua tahun mendatang.

Demikian pula, langkah-langkah reforma agraria yang seakan maju-mundur sejak program transmigrasi tidak memperoleh perhatian memadai, perlu memperoleh perhatian yang lebih serius. Dalam RPJM 2004-2009 memang tidak secara eksplisit disebutkan langkah-langkah pemihakan yang ingin dijalankan pemerintah.

Akan tetapi, dalam draft Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2006, rancangan program yang mengarah kepada reforma agraria telah mulai disebutkan dalam butir C3 Revitalisasi Pertanian, point e (3) yang berbunyi “penataan pemanfaatan dan sertifikasi tanah di perdesaan, untuk mendukung akses terhadap lahan dan agunan untuk memperoleh permodalan”.

Langkah tersebut memang baru merupakan titik awal atau prakondisi terhadap reforma agraria yang sebenarnya. Apakah draft program pemerintah tersebut menjadi kenyataan, masyarakat masih perlu bersabar menunggu realisasinya.

Tantangan terbesar revitalisasi pertanian menurut mazhab populis adalah skeptisme pemihakan terhadap penanggulangan kemiskinan, pemenuhan hak dan kebutuhan dasar masyarakat, pemberdayaan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (UMKMK).

Masyarakat telah semakin kritis untuk percaya begitu saja bahwa pemihakan pemerintah dan para elit politik terhadap penanggulangan kemiskinan dan lain-lain tidak akan dapat steril sepenuhnya dari konsideran politik dan bahkan politisasi program program yang diagendakan.

Kesimpangsiuran realisasi penyaluran dana kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kemungkinan politisasi terhadap pembagian beras untuk keluarga miskin (raskin), terutama pada saat pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, serta berlarut-larutnya pembangunan kembali sekolah-sekolah yang rusak dan ambruk adalah sedikit saja dari skeptisme masyarakat terhadap keseriusan pemerintah untuk melaksanakan kebijakan yang dibuatnya sendiri.

Daftar Pustaka:

Eko Setio Budi (ed.). 2006. Prospek dan Masa Depan Ekonomi Indonesia Berbasis Sektoral. Cet. 1. Jakarta: Iskandarsyah Institute. Hlm: 4-11

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *