Pengertian Kekuasaan Konstitutif Adalah, Tugas, Wewenang & Haknya



Mengenal mengenai istilah konstitusi dalam arti pembentukan, pada dasarnya berasal dari bahasa Perancis yaitu Constituer. Artinya adalah membentuk.

Sedangkan yang dimaksud dengan membentuk dalam hal ini adalah membentuk suatu negara.

Secara arti sempit adalah hanya mengandung norma hukum untuk membatasi kekuasaan yang terdapat dalam negara.

Sedangkan untuk definisi konstitusi secara luas adalah keseluruhan ketentuan dasar atau hukum dasar baik itu yang tertulis,



Ataukah yang tidak tertulis dan bahkan atas keduanya dan bahkan tidak hanya pada aspek hukum saja, akan tetapi juga pada non hukum.



Ketika merujuk pada pendapat para ahli dalam hal ini Soemantri Martosoewignjo bahwa istilah konstitusi berasal dari perkataan “Constitution” yang dalam bahasa Indonesia, hukum diistilahkan sebagai Undang-Undang Dasar atau hukum Dasar.



Sejalan dengan pendapat diatas, Nyoman Dekker juga mengatakan bahwa konstitusi dalam pemahaman “Anglo-Saxon” serupa dengan Undang-Undang Dasar.

Dengan berlakunya konstitusi hukum dasar yang mengikat ini didasarkan melalui kekuasaan tertinggi dengan berdasar prinsip kedaulatan yang dianut melalui suatu negara.

Apabila negara menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu ialah rakyat.

Apabila berlaku paham tentang kedaulatan rakyat. Apabila berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja bisa menentukan berlakunya tidaknya suatu konstitusi.

Demikian ini yang disebut oleh para ahli adalah “constituent power” sebagai kewenangan yang terdapat di luar dan sebagai diatas sistem yang diaturnya.

Maka dari itu, lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah yang disebut dalam menentukan dalam berlakunya suatu konstitusi.

Fungsi dasar konstitusi demikian yang mengatur pembatasan kekuasaan dalam negara.

Pendapat demikian juga disampaikan oleh Prof Bagir Manan bahwa konstitusi adalah sekelompok ketentuan yang mengatur organisasi negara dan susunan pemerintahan suatu negara.

Walaupun demikian, tetap saja bahwa kedudukan, fungsi, dan tujuan konstitusi yang terdapat dalam suatu negara tidak dipungkiri terus mengalami perkembangan dari zaman ke zaman.

Sebut saja pada saat masa peralihan dari negara feodal monarki atau oligarki dengan kekuasaan mutlak penguasa negara nasional demokrasi,

Konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat yang secara berangsur-angsur memiliki fungsi sebagai alat rakyat dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa.

Dari hal itulah sehingga pada saat setelah perjuangan dimenangkan oleh rakyat, kedudukan dan peran konstitusi selanjutnya bergeser dari sekedar sebagai penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat terhadap kezaliman golongan penguasa,

Itu kemudian menjadi suatu senjata pemungkas rakyat untuk mengakhiri kekuasaan sepihak seseorang dalam sistem monarki dan kekuasaan sepihak satu golongan oligarki,

Serta untuk membangun tata kehidupan baru atas dasar landasan kepentingan bersama rakyat.

Melalui hal itu, konstitusi hadir agar keadilan dalam masyarakat dapat hadir. Selain itu, juga dalam kekuasaan negara.

Olehnya itu, dalam praktik ketatanegaraan apalagi di Indonesia, dilakukan dengan cara pembagian kekuasaan.

Tujuannya pembagian kekuasaan ini adalah agar terciptanya control dan keseimbangan antara lembaga kekuasaan. Untuk di Indonesia, pembagian kekuasaan terdiri atas tiga yaitu legislatif, yudikatif dan eksekutif.

Dengan pembagian-pembagian kekuasaan itulah sehingga kekuasaan tidak hanya dipegang oleh satu orang saja.

Dalam pembagian kekuasaan itu juga, kekuasaan konstitutif mengambil peran sebagai bentuk pembagian kekuasaan yang secara atau sifatnya horizontal. Apasih itu yang dimaksud dengan Kekuasaan Konstitutif?

Pengertian Kekuasaan Konstitutif Adalah, Tugas, Wewenang & Haknya

pengertian kekuasaan konstitutif

Pengertian Kekuasaan Konstitutif: Apa itu?

Yang dimaksud dengan kekuasaan konstitutif dalam pembagian kekuasaan secara horizontal adalah kekuasaan untuk mengubah dan menetapkan UUD yang dijalankan oleh MPR.

Dasar hukum kekuasaan Konstitutif dalam pembagian kekuasaan secara horizontal ini ditegaskan pada Pasal 3 ayat 1 UU Negara RI Tahun 1945 bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.”

MPR RI

MPR atau kepanjangan dari singkatan ini adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia atau secara sederhana dapat disebut dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Arti MPR adalah lembaga legislatif bikameral yang lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Sebelum Reformasi, MPR merupakan lembaga tertinggi negara. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara.

Namun setelah reformasi, lembaga negara ini menghasilkan perubahan konstitusi yang mendorong untuk mengambil keputusan untuk tidak membuat MPR dalam posisi lembaga tertinggi.

Sehingga kedudukan dari MPR sejajar dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Tujuan dari hal ini adalah agar MPR selaras dengan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat sehingga dalam sistem ketatanegaraan dapat berjalan secara optimal.

Lembaga ini di Indonesia, di bentuk berdasarkan Undang-undang dasar 1945 pasal 1, 2, dan 3. Lembaga ini adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Tugas, Wewenang, dan Hak MPR

Tugas, Wewenang, dan Hak MPR antara lain:

  • Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya.
  • Mengubah dan menetapkan (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945), (Undang-Undang Dasar).
  • Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum.
  • Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan (Mahkamah Konstitusi) untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
  • Anggota MPR memiliki hak mengajukan usul perubahan pasal-pasal UUD, menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan putusan, hak imunitas, dan hak protokoler. Perubahan (Amandemen) UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksanaan sepenuhnya kedaulatan rakyat, kini MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya seperti Lembaga Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK.
  • Memilih Wakil Presiden dari 2 calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
  • Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya.
  • MPR juga tidak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN. Selain itu, MPR tidak lagi mengeluarkan Ketetapan MPR (TAP MPR), kecuali yang berkenaan dengan menetapkan Wapres menjadi Presiden, memilih Wapres apabila terjadi kekosongan Wapres, atau memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama. Hal ini berimplikasi pada materi dan status hukum Ketetapan MPRS/MPR yang telah dihasilkan sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Saat ini Ketetapan MPR (TAP MPR) tidak lagi menjadi bagian dari hierarkhi Peraturan Perundang-undangan.

Hubungan MPR dengan Lembaga Negara Lainnya

Dalam konsep dan sistem pemerintahan di Indonesia, terjalin hubungan atau koordinasi antara setiap lembaga negara baik itu DPR, DPD dan Presiden.

Hubungan setiap lembaga negara itu, bersifat mengikat dan memaksa sebab diatur dalam undang-undang.

Adapun macam-macam hubungan MPR dengan lembaga negara lainnya serta aturannya adalah:

1. Hubungan MPR dengan DPR

Hubungan antar MPR dan DPR di atur di dalam undang-undang:

  • UUD 1945 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi, “Majelis permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang.”
  • UUD 1945 pasal 7A yang berbunyi, “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
  • UUD 1945 pasal 7B ayat 1 yang berbunyi, “Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
  • UUD 1945 pasal 7B ayat 6 yang berbunyi, “Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.”

2. Hubungan MPR dengan DPD

Hubungan antara MPR dan DPD dia atur didalam UUD 1945 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi, “Majelis permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang.”

3. Hubungan MPR dengan Presiden

Begitupula yang terjadi dengan MPR dan Presiden. Hubungan MPR dan Presiden diatur melalui undang-undang. Adapun undang-undang tersebut ialah:

  • UUD 1945 pasal 3 ayat 2 yang berbunyi, “Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden”
    UUD 1945 pasal 3 ayat 3 yang berbunyi, “Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.”
  • UUD 1945 pasal 7A yang berbunyi, “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
  • UUD 1945 pasal 7B ayat 1 yang berbunyi, “Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
  • UUD 1945 pasal 7B ayat 7 yang berbunyi, “Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
  • UUD 1945 pasal 8 ayat 2 yang berbunyi, “Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.”
  • UUD 1945 pasal 8 ayat 3 yang berbunyi, “Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan siding untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, samapi berakhir masa jabatannya.”
  • UUD 1945 pasal 9 ayat 1 yang berbunyi, “Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat.”
  • UU No 27 tahun 2009 pasal 6 ayat 1 yang berbunyi, “Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden.”

Hubungan Dasar Negara dengan Konstitusi

Permasalahan Yang Dihadapi Lembaga Konstitutif dan Solusinya

  1. Perdebatan antar anggota mengenai perubahan aturan yang akan ditetapkan
  2. Ketidak cocokan aturan yang diterapkan pada teori dan di lapangan
  3. Jika pemimpinnya tidak adil, maka akan menjadi negara yang memperbudak rakyatnya atau kolonialisme
  4. Ketika MPR menetapkan suatu peraturan baru banyak masyarakat yang tidak setuju dengan peraturan tersebut hal itu juga merupakan suatu masalah bagi MPR.
  5. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk mengganti, menambah, mengurangi, membuat dan menghapus sebagian maupun seluruh isi atau materi yang ada di dalam konstitusi suatu negara.
  6. Sedangkan anggota MPR sendiri berasal dari DPR dan DPR berasal dari anggota parpol. Dari keanggotaan tersebut jelas tidak akan menutup kemungkinan bisa terjadinya penyimpangan kepentingan ketika melaksanakan wewenangnya.

Demikianlah informasi mengenai Pengertian Kekuasaan Konstitutif Adalah, Tugas, Wewenang & Haknya.Semoga informasi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Sekian dan terima kasih. Salam berbagi teman-teman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *