Dasar Hukum Arbitrase dan Jenis-Jenis Arbitrase – Penanaman modal asing berperan penting dalam meningkatkan perekonomian yang akan turut memperkaya, membangun dan memperkuat kapasitas ekonomi dan pembangunan dalam negeri.
Sehingga secara langsung penanaman modal asing mendorong terjadinya transfer teknologi dan keahlian antara negara yang berbeda.
Setiap negara mempunyai pemahaman yang sama bahwa kegiatan penanaman modal asing penting termasuk Indonesia.
Hal itu sebagaimana dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU Penanaman Modal). Salah satu aktor penting dalam pelaksanaan itu adalah perusahaan-perusahaan multinasional atau MNCs (multinational corporations).
Selain itu terdapat aktor penanaman modal lainnya adalah perusahaan milik negara (state corporations). Melalui hal ini adalah cara negara untuk masuk dalam bidang khususnya perdagangan yang terdapat di negara berkembang.
Pendekatan demikian sering terjadi di negara berkembang. Seperti ungkapan bahwa sektor-sektor yang menguntungkan perekonomian harus dikelola oleh negara.
Demikian ini dilakukan agar, keuntungan sepenuhnya tidak jatuh ke swasta, melainkan dapat masuk ke kas negara. Tujuannya adalah agar dapat dimanfaatkan oleh rakyat.
Dengan kebutuhan dan tujuan dari setiap negara untuk meningkatkan perekonomian, ditambah dengan era globalisasi serta liberalisasi membuat bertemunya kepentingan itu dalam penanaman modal yang melibatkan banyak pihak.
Karena terdapat saling kebutuhan, penawaran dan penerimaan yang saling bekerja sama yang didasarkan pada kesepkatan. Namun selalu saja tidak terhindarkan dengan apa yang dinamakan dengan risiko.
Selalu ada resiko di dalamnya yang bisa menimbulkan persoalan atau bahkan sengketa sehingga membutuhkan penyelesaian yang juga didasarkan pada kesepakatan.
Undang-undang Penanaman Modal telah mengatur setidaknya tiga cara penyelesaian sengketa penanaman modal salah satunya adalah arbitrase.
Berbicara mengenai Arbitrase, pengertian arbitrase adalah kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu sesuai dengan kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit.
Sebenarnya istilah arbitrase sangatlah bermacam-macam. Misalnya saja dalam bahasa latin, kata Arbitrase diistilahkan dengan arbitrare.
Sedangkan di belanda adalah arbitrage, Inggris adalah arbitration, jerman adalah schiedspurch, dan prancis adalah arbitrage.
Arbitrase ini merupakan suatu prosedur oleh para pihak yang berselisih yang secara suka rela setuju untuk terikat pada keputusan pihak ketiga yang posisinya adalah netral.
Melihat dari hal itu bahwa arbitrase adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa atau masalah yang terjadi beberapa pihak yang sudah lama digunakan pada jaman romawi.
Hal itu juga sering diterapkan di Indonesia sebagai penyelesaian masalah yang mempunyai dasar hukum sebagai kekuatan dalam menopang penyelesaian sengketa atau masalah ini.
Daftar Isi
- 1 Dasar Hukum Arbitrase dan Jenis-Jenis Arbitrase
- 1.1 Dasar Hukum Arbitrase
- 1.1.1 Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
- 1.1.2 Pasal 377 HIR
- 1.1.3 Pasal 615 s/d 651 RV
- 1.1.4 Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 /1970
- 1.1.5 Pasal 80 UU NO. 14/1985
- 1.1.6 Pasal 22 ayat (2) dan (3) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
- 1.1.7 Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/1967
- 1.1.8 UU No. 5/1968
- 1.1.9 Kepres. No. 34/1981
- 1.1.10 Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1990
- 1.1.11 UU No. 30/1999
- 1.2 Jenis-Jenis Arbitrase
- 1.1 Dasar Hukum Arbitrase
Dasar Hukum Arbitrase dan Jenis-Jenis Arbitrase
Dasar Hukum Arbitrase

Dasar Hukum Arbitrase dan Jenis-Jenis Arbitrase (Foto: Artikelsiana.com)
Secara singkat sumber Hukum atau dasar hukum Arbitrase di Indonesia adalah:
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa “semua peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”.
Seperti itu juga dengan HIR yang diundang yang pada zaman Koloneal Hindia Belanda masih tetap berlaku, sebab pada saat ini belum terdapat pengantinya yang baru sesuai dengan Peraturan Peralihan UUD 1945.
Pasal 377 HIR
Hal-hal yang berkaitan dengan arbitrase dalam HIR ternyata terdapat dalam Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG yang berbunyi bahwa “Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropah”.
Sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan pengadilan yang berlaku bagi Bangsa Eropah yang dimaksud Pasal 377 HIR ini adalah semua ketentuan tentang Acara Perdata yang diatur dalam RV.
Pasal 615 s/d 651 RV
Peraturan mengenai arbitrase dalam RV tercantum dalam Buku ke Tiga Bab. Pertama Pasal 615 s/d 651 RV, yang meliputi :
- Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623 RV)
- Pemeriksaan di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
- Putusan Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
- Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV)
- Berakhirnya acara arbitrase (Pasal 648-651 RV)
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 /1970
Setelah Indonesia bisa merdeka, terdapat ketentuan yang sifatnya tegas yang berisi tentang pengaturan lembaga arbitrase dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi “Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan”
Pasal 80 UU NO. 14/1985
Satu-satunya undang-undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku di Indonesia yaitu UU No. 14/1985, sama sekali tidak mengatur mengenai arbitrase. Ketentuan peralihan yang termuat dalam Pasal 80 UU No. 14/1985, menentukan bahwa semua peraturan pelaksana yang telah ada mengenai Mahkamah Agung, dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah Agung ini. Dalam hal ini kita perlu merujuk kembali UU No. 1/1950 tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. UU No. 1/1950 menunjuk Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat yang kedua atas putusan arbitrase mengenai sengketa yang melibatkan sejumlah uang lebih dari Rp. 25.000,- (Pasal 15 Jo. Pasal 108 UU No. 1/1950).
Pasal 22 ayat (2) dan (3) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
Dalam hal ini Pasal 22 ayat (2) UU No. 1/1967 yang berbunyi “Jikalau di antara kedua belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam,dan cara pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang putusannya mengikat kedua belah pihak”.
Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/1967
Dalam pasal ini juga menjelaskan tentang Arbitrase yang berbunyi “Badan arbitrase terdiri atas tiga orang yang dipilih oleh pemerintah dan pemilik modal masing-masing satu orang, dan orang ketiga sebagai ketuanya dipilih bersama-sama oleh pemerintah dan pemilik modal”.
UU No. 5/1968
Dalam pasal ini menyebutkan bahwa mengenai persetujuan atas “Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Asing Mengenai Penanaman Modal” atau sebagai ratifikasi atas “International Convention On the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States”.
Dengan undang-undang ini dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan agar suatu perselisihan mengenai penanaman modal asing diputus oleh International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSD) di Washington.
Kepres. No. 34/1981
Pemerintah Indonesia telah mengesahkan “Convention On the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” disingkat New York Convention (1958), yaitu Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, yang diadakan pada tanggal 10 Juni 1958 di Nww York, yang diprakarsaioleh PBB.
Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1990
Selanjutnya dengan disahkannya Konvensi New York dengan Kepres No. 34/1958 , oleh Mahkamah Agung di keluarkan PERMA No. 1/1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, pada tanggal 1 maret 1990 yang berlaku sejak tanggal di keluarkan.
UU No. 30/1999
Sebagai ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, maka pemerintah mengeluarkan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan internasional.
Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam UU NO. 30/1999.
Jenis-Jenis Arbitrase
Diketahui bahwa terdapat 2 jenis arbitrase yang disebut dengan Arbitrase Institusional dan Arbitrase Ad Hoc. Apasih yang dimaksud dengan kedua jenis arbitrase itu?
1. Arbitrase Institusional
Yang dimaksud dengan Arbitrase institusional adalah suatu penyelesaian sengketa atau kasus yang menggunakan lembaga khusus dalam mengelola proses arbitrase atau manajemen kasus.
Dalam lembaga khusus ini mempunyai kerangka kerja, misalnya jadwal pengajuan dokumen atau prosedur untuk membuat aplikasi dll untuk membantu proses arbitrase.
Sehingga dalam memakai lembaga ini menguntungkan sebab terdapat bantuan administrasi dan dapat selesai tepat waktu, namun penggunaan jenis arbitrase ini memakai biaya yang besar.
2. Arbitrase Ad Hoc
Yang dimaksud dengan Arbitrase ad hoc adalah arbitrase yang pengelolaannya (arbiter) merupakan yang ditunjuk oleh para pihak misalnya penunjukan arbiter, aturan yang berlaku, dan jadwal waktu untuk mengajukan berbagai dokumen.
Jenis arbitrase ini bebas dalam memakai prosedur pilihan sehingga tidak terdapat aturan prosedural yang disepakati, majelis arbitrase akan mengelola arbitrase dengan cara yang dianggapnya sesuai.
Arbitrase ad hoc juga dapat diubah menjadi arbitrase institusional. Apabila terdapat pihak-pihak yang merasa membutuhkan bantuan dari lembaga khusus untuk menangani kasus ini di beberapa hal.
Demikianlah informasi mengenai Dasar Hukum Arbitrase dan Jenis-Jenis Arbitrase. Semoga informasi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Sekian dan terima kasih. Salam berbagi teman-teman