Peran Tokoh Pengembang Agama Islam di Indonesia – Proses penyebaran dan pengembangan Islam di Indonesia tidak lepas dari beberapa peran para pedagang, mubaligh/ulama, raja, bangsawan dan para adipati.
Kedatangan Islam ke Nusantara juga mempunyai sejarah yang panjang. Ada teori dari beberapa sarjana barat yang mengatakan bahwa Islam masuk di Indonesia pertamakali dari Gujarat sekitar abad ke 13 M atau ke 7 H.
Teori masuknya islam di Indonesia ini dikatakan sebagai Gujarat karena Gujarat terletak di India bagian barat, yang dekat dengan Arab.
Letak yang strategis yang berada di jalur perdagangan antara timur dan barat membuat pedagang Gujarat yang memeluk agama Islam berdagang ke daerah Timur hingga ke Aceh dan kemudian ke Jawa.
Melalui dari Jawa ini penyebaran dan pengembangan Islam semakin luas, hingga terdapat peran besar dari beberapa tokoh di Indonesia yang terdapat 3 komponen yang saling melengkapi mulai dari Kesultanan dengan maritin di Sepanjang Pantai Utara Jawa.
Yang kedua dimulai dari Kelompok ualam Islam asing yang mengisi pos birokrasi dan memimpin upacara keagamaan pada kesultanan.
Ketiga, dimulai dari para sufi dan guru mistik yang diketahui tertarik untuk pindah daerah pantai menuju Jawa untuk menyampaikan dakwahnya.
Dalam pengembangan Islam di Indonesia terdapat beberapa tokoh yang dikelompokkan dengan sebutan Walisongo. Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14.
Tokoh-tokoh Walisongo ini bertempat tinggal melalui 3 wilayah penting pantai utara Pulau Jawa contohnya adalah Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat dan terdapat nama lain pengembang agama Islam di Indonesia.
Daftar Isi
Tokoh Pengembang Islam di Jawa
Adapun tokoh-tokoh pengembangan islam di Indonesia khususnya di daerah Jawa adalah:
1. Sunan Gresik/Maulana Malik Ibrahim
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim adalah dianggap pertama kali penyebar agama Islam di tanah Jawa khususnya desa Sembalo (leran) atau 9 KM dari Kota Gresik.
Selain itu ia juga mendirikan mesjid pertama di Desa Pasucinan. Salah satu aktivitas pertama dari Sunan Gresik adalah berdagang. Setelah cukup mapan, Sunan Gresik berkunjung ke Majapahit di Trowulan.
Walau raja majapahit tidak sampai masuk Islam, akan tetapi Islam diterima dengan baik, bahkan diberi sebidang tanah yang ada di pinggiran kota Gresik yang dikenal dengan Gapura.
Selain itu, ia telah mempersiapkan agar penyebaran Islam bisa terus terjadi dari generasi-generasi, Sunan Gresik membuka pesantren.
Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasti makamnya.
Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.
2. Sunan Ampel
Nama asli sunan Ampel adalah Raden Rahmat. Sunan Ampel adalah penyebar Islam di daerah Ampel Surabaya. Disebutkan kalau sunan ampel ini berkerabat dengan salah seorang istri atau selir dari Brawijaya raja Majapahit.
Sunan Ampel umumnya biasa disebut sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Ia menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja.
3. Sunan Bonang
Sunan Bonang lahir tahun 1465 M, dengan nama asli Raden Maulana Makdum Ibrahim. Sebagai putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang sendiri diambil dari desa di Kabupaten Rembang yang wafat tahun 1525 M,
Dan saat ini makam aslinya berada di Desa Bonang. Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Bonang disebut Sayyid Kramat merupakan seorang Arab keturunan Nabi Muhammad.
4. Sunan Drajat
Nama asli dari Sunan Drajat adalah Syarifuddin. Ia adalah anak dari Sunan Ampel yang menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu.
Sunan Drajat menekankan sikap kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam.
Sunan Drajat juga menjalankan pesantren secara mandiri di desa drajat, kecamatan Paciran, Lamongan. Salah satu peninggalan Sunan Drajat adalah Tembang macapat Pangkur, Gamelan Singomengkok. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.
5. Sunan Giri
Sunan Giri adalah pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik Jawa Timur yang lahir tahun 1442 di Blambangan dari buah pernikahan dari Maulana Ishaq, mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putrid Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit.
Kelahiran Sunan Giri dianggap adalah kutukan, karena banyaknya wabah penyakit di wilayah itu. Akhirnya, ayahnya dipaksa untuk membuat anaknya dan Dewi Sekardadu dengan berat hati,
Ia menghanyutkan anaknya ke laut atau selat bali. Beruntung ditemukan oleh pelaut dan dibawa ke Gresik hingga diadobsi oleh Nyai Gede Pinatih yang sudah saudagar dan pemilik kapal, itulah ia dia menamakan bayi Joko Samudra.
Saat Dewasa, ia dibawa ke Surabaya dan belajar agama dari Sunan Ampel, hingga Sunan Ampel tahu bahwa ia adalah anak dari murid keseyangannya. Sunan Ampel mengirimnya dan Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai.
Akhirnya diterima baik oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu dibuang.
6. Sunan Kudus
Sunan Kudus atau nama aslinya adalah Syeikh Ja’far Shodik. Sunan Kudus menyebar dan mengembangkan agama Islam daerah Kudus. Selain sebagai tokoh pengembang Islam juga sebagai panglima perang dan hakim peradilan negara di kesultanan demak.
Maka jalan dakwah Sunan Kudus untuk kaum penguasa dan priyayi Jawa contoh muridnya seperti Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan.
Salah satu peninggalannya yang terkenal adalah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
7. Sunan Kalijaga
Nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak. Ia adalah murid Sunan Bonang.
Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk.
Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.
8. Sunan Muria
Sunan Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat, dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah, putrid Sunan Ngudung.
Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria), yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah, tempat dia dimakamkan.
9. Sunan Gunung Jati
Nama aslinya Syarif Hidayatullah, adalah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja.
Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon.
Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.
Tokoh Penyebar Islam di Sulawesi Selatan
Sebenarnya Islam sudah ada sejak 16 M, namun belum begitu massif. Hingga pada 17 M Islam menyebar lebih cepat ke Sulawesi melalui kehadirantokoh-tokoh pengembangan Islam di Sulawesi Selatan. Seperti tiga mubaligh dari Minangkabau yakni Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro, dan Datuk ri Patimang.
10. Datuk ri Patimpang
Datuk ri Bandang berasal dari Minangkabau dari perintah Sultan Aceh dan Sultan Johor. Datuk ri Bandang berdakwah di daerah Luwu. Hingga mampu mengislamkan kalangan elite kerajaan Luwu termasuk Datuk Luwu yang diberi nama Islam menjadi Sultan Muhammad Mahyuddin,
Ahli dalam ilmu Tauhid, tokoh pengembang agama Islam di Luwu ini maka ia mengajarkan ketauhidan karena kondisi masyarakatnya masih menyembah Dewata Seuwae.
Penekanan tauhid ini untuk menggantikan Dewata Seuwae dengan konsep keimananan pada Allah Yang Maha Esa. Khatib Sulung kemudian meneruskan syiar Islam ke rakyat Luwu, Suppa, Soppeng, Wajo dan beberapa kerajaan yang belum memeluk Islam.
Nama aslinya adalah Sulaiman, Khatib Sulung, karena wafat di Desa Patimang, Luwu, karena itulah ia bergelar Datuk Patimang.
11. Datuk ri Tiro
Nama asli dari Datuk ri Tiro adalah Abdul Jawad, Khatib Bungsu. Asal dari nama Datuk ri Tiro karena wafat dan dimakamkan di Tiro (Bonto Tiro). Karena ahli dalam Tasawuf,
Ia bertugas di Bonto Tiro untuk mengajarkan masyarakat yang berpegang pada sihir (doti), maka datuk ri Tiro hadir untuk mengislamkan masyarakat seperti itu dengan ilmu tasawuf.
Makam Datu ri Tiro bisa dijumpai di Kelurahan Eka Tiro Kecamatan Bonto Tiro, Bulukumba. Untuk menghormati Datu ri Tiro, Pemerintah Kab. Bulukumba kemudian menamai Islamic Center yang baru dibangun dengan nama Islamic Center Datu Tiro.

12. Datuk ri Bandang
Nama Asli dari penyebar Islam di Gowa ini adalah Abdul Makmur, Khatib Tunggal. Bertugas dalam mengajarkan ilmu fikih di Kerajaan Gowa-Tallo. Hal itu karena kerajaan ini masih memegang kuat tradisi lama seperti perjudian, minum ballo’, dan sabung ayam.
Untuk mengislamkan mereka, metode dakwah yang digunakan adalah dengan penegakan hukum syariat. Dengan metode yang digunakan, ia berhasil mengislamkan Raja Tallo Imalingkaan Daeng Mayonri Karaeng Katangka yang diberi nama Sultan Abdullah Awalul Islam.
Datuk ri Bandang wafat dan dimakamkan di wilayah Tallo. Makam Datuk ri Bandang kini berada di Jl. Sinassara, Tallo, Makassar.
Tokoh Penyebar Islam di Sumatera
Beberapa tokoh Islam yang berpengaruh dalam proses awal penyebaran Islam di Sumatera antara lain
- Nurrudin Ar Raniri (Melayu)
- Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi (Bukittinggi, Sumatera Barat),
- Abdur Rauf Singkel (Aceh), Hamzah Fansuri (Aceh),
- Syamsuddin al Sumaterani (Aceh)
- Syekh Abdussamad al Palimbani (Palembang).
Tokoh Pengembang Islam di Kalimantan
Agama Islam masuk ke Kalimantan pada awal abad ke-16. Akan tetapi, Islam mulai berkembang setelah para pejuang Islam dari Kesultanan Demak datang ke Banjarmasin. Pasukan Demak diminta bantuan oleh Pangeran Samudra untuk memadamkan perselisihan di Daha.
Setelah memperoleh kemenangan, Pangeran Samudra pun memeluk agama Islam dan diangkat sebagai sultan pertama di Kesultanan Banjar.
Pangeran Samudra menetapkan agama Islam sebagai agama resmi negara. Barulah kedua tokoh pengembang islam di kalimatan hadir yakni Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Syekh Muhammad Nafis.
18. Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
Lahir di desa Lok Gabang pada hari kamis dinihari 15 Shofar 1122 H, bertepatan 19 Maret 1710 M. Anak dari Abdullah dan Siti Aminah. Muhammad Arsyad adalah pelukis dan cerdas. Hal itu sehingga sejak kecil dia didik di istana yang berusia ± 7 tahun.
Ia mendalami Islam saat dirinya mengunjungi kota Mekkah. Disana ia berguru kepada masyaikh terkemuka pada masa itu. Guru-gurunya adalah Syekh ‘Athoillah bin Ahmad al Mishry, al Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi dan al ‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abd. Karim al Samman al Hasani al Madani.
Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu, dirinya pulang pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, di Martapura pusat Kerajaan Banjar pada masa itu. Bahkan, sultanpun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’.
Dalam menyampaikan ilmunya Syekh Muh. Arsyad mempunyai beberapa metode, di mana antara satu dengan yang lain saling menunjang. Adapun metode-metode pengembangan islam yang dilakukan adalah Bil-hal, Bil-lisan dan Bil-kitabah.
Setelah ± 40 tahun mengembangkan dan menyiarkan Islam di wilayah Kerajaan Banjar, akhirnya pada hari selasa, 6 Syawwal 1227 H (1812 M) Allah SWT memanggil Syekh Muh. Arsyad ke hadirat-Nya. Usia beliau 105 tahun dan dimakamkan di desa Kalampayan, sehingga beliau juga dikenal dengan sebutan Datuk Kalampayan.
19. Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dikenal sebagai pakar ilmu kalam dan tasawuf. Dirinya adalah pengarang “Durr Al-Nafis” (permata yang indah), kitab berbahasa Jawi yang dicetak berulang-ulang di Timur Tengah dan Nusantara, yang masih dibaca sampai sekarang.
Dia berada dalam urutan kedua setelah Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari dari segi pengaruhnya atas kaum muslimin di Kalimantan.
Dalam berdakwah, Muhammad Nafis berlangsung dengan lancar dan damai merukunkan tasawuf sunni dan falsafi yang diposisikan secara diametral. Menurut pengakuannya, ia adalah pengikut tarekat Qadariyah, Syathariyah, Naqsabandiyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah.
Sebab itulah, ajaran tasawuf ala Muhammad Nafis turut membangkitkan semangat masyarakat Banjar untuk berjuang lepas dari penjajah. Situasi ini jelas membahayakan Belanda karena akan mengobarkan jihad.
Tak heran kalau kemudian berbagai intrik dilakukan oleh Belanda untuk menghentikan ajaran Muhammad Nafis, mulai dari kontroversi ajaran sampai pelarangan. Namun, dakwah Muhammad Nafis terus berlanjut sampai ia wafat.
Demikianlah informasi mengenai Peran Tokoh Pengembang Agama Islam di Indonesia. Semoga informasi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Sekian dan terima kasih. Salam berbagi teman-teman.