Pengertian Khutbah, Syarat, Rukun Khutbah & Tata Cara Khutbah – Khutbah ialah salah satu metode dakwah, yang serupa dengan ceramah-ceramah yang biasa digelar dalam tabligh akbar dan semacamnya.
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa khutbah memiliki ciri khas dalam hal ini dari segi rukun dan syarat khutbah.
Identik khutbah dengan ritual keagamaan misalnya pada saat shalat jum’at, shalat ied atau shalat istisqo, yang pelaksanaan digelar khutbah, baik sebelum atau sesudah shalat.
Dan khutbah mempunyai rukun dan syarat yang perlu dipenuhi dalam pelaksanaannya. Agar dapat dikatakan sebagai khutbah yang sah,
Maka ada yang dikenal dengan khatib dimana bertugas untuk memenuhi rukun-rukun khutbah. Bila tidak terpenuhi maka khutbah tersebut tidak sah.
Di Negara kita yakni di Indonesia, terkadang masih terdapat beberapa khatib yang tidak melengkapi rukun saat menyampaikan khutbah. Ketika dibiarkan dapat menyebabkan khutbah menjadi tidak sah.
Bagaimana hukumnya ketika terdapat seorang jama’ah yang menginterupsi khatib mengenai khutbah yang rukunnya tidak terpenuhi?
Sedangkan ketika khutbah sedang berlangsung, terdapat perintah “inshat” bagi para jama’ah, yang dimaksudkan disini untuk jam’ah diam, mendengarkan, dan memperhatikan khutbah.
Menurut Tata Sukayat, khutbah adalah ucapan, ceramah, pidato dan istilah-istilah lainnya yang memiliki makna yang sama dengan khutbah.
Selain itu menurut pendapat dari Moh. Ali Aziz, bahwa yang dimaksud dengan khutbah telah bergeser dari pidato secara umum menjadi pidato atau ceramah agama dalam ritual keagamaan.
Sebab definisi khutbah sudah berubah makna dari pidato atau ceramah menjadi pidato yang lebih khusus pada acara ritual keagamaan di atas,
Sehingga untuk perbedaan khutbah dan pidato pada umumnya terletak pada adanya aturan yang ketat mengenai waktu, isi dan cara penyampaian pada khutbah.
Nabi Muhammad SAW mengingatkan untuk berkhutbah dengan singkat dan padat.
Hal itu lantaran dengan berkhutbah yang semakin padat dan singkat, maka semakin tampak kecerdasan pengkhutbah. Diksi juga menentukan perhatian dan kesan audiens.
Hal ini yang harus dilakukan oleh oleh seorang pengkhutbah agar tujuan dari khutbah berupa pesan yang disampaikan dapat diterima oleh audiens. Pemilihan topik juga harus diusakan agar menarik dan mudah diingat.
Pesan khutbah juga berisi pemberian motivasi kepada audiens, tidak hanya untuk semangat beribadah tetapi juga untuk semangat hidup.
Daftar Isi
Pengertian Khutbah: Apa itu?
Secara bahasa atau etimologi, yang dimaksud dengan pengertian khutbah apalagi khutbah yang berasal dari kata yaitu khutbah.
Diketahui bahwa kata Khutbah merupakan bentuk masdar dari kata khataba, yakhtubu, yang dapat didefinisikan berpidato.
Adapun berpidato adalah mengungkapkan buah pikiran dalam bentuk kata-kata yang ditunjukkan kepada orang banyak.
Tidak hanya itu, khutbah juga memiliki tiga pengertian atau definisi yang dibedakan atas beberapa segi.
Misalnya dalam pengertian khutbah yang pertama, dimana yang dimaksud dengan khutbah dari segi bentuknya adalah berbentuk prosa dan bersajak,
Akan tetapi pengertian ini terlalu sempit, sebabnya hanya orang arab yang mengartikannya seperti itu.
Sedangkan realitanya, khususnya yang dapat disaksikan di negarar kita, Indoneia dimana khutbah sudah tidak ada lagi yang bersajak seperti puisi.
Tetapi pengertian ini telah menggambarkan bentuk khutbah yang seharusnya, sebabnya khutbah berasal dari bahasa arab.
Sedangkan pengertian khutbah dari segi isinya, dimana definisi khutbah adalah tersusun dari beberapa bagian, secara umum ada bagian pembukaan, isi, dan penutup.
Dan dalam pengertian ini dikatakan bahwa esensi dari sebuah khutbah adalah mengandung nasehat bertujuan untuk mengajak manusia kepada kebaikan dan petunjuk, menyuruh berbuat baik serta untuk mencegah berbuat mungkar untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ini juga sebagai sarana untuk meyampaikan dan mengajarkan Islam kepada manusia untuk diterapkan dalam realitas kehidupan.
Dan dari pengertian yang ketiga, khutbah diartikan berdasarkan tujuannya, yaitu untuk memberitahukan suatu pengetahuan dan mempersuasi siapa saja yang mendengarkan khutbah, dengan kata lain khutbah harus bersifat informatif dan persuasif.
Oleh karena itu, seorang khatib harus mampu memberikan informasi yang benar dan akurat serta up to date agar dapat mencapai tujuan persuasifnya.
Salah satunya dengan mempengaruhi setiap orang yang mendengarkan sehingga dapat membangkitkan kesadarannya untuk menerima dan melakukan dari apa yang ia dengar.

Pokok-Pokok Isi Khutbah
Adapun pokok isi dari khutbah ialah:
- Menurut al Bajuri dari Madzhab Syafi’i, bahwa terdapat lima rukun khutbah (pokok-pokok) yaitu hamdalan, shalawat Nabi, anjuran bertakwa, bacaan al Qur’an pada salah satu diantara 2 khutbah serta doa untuk kaum muslimin pada kedua.
- Sedangkan untuk Madzhab Hanbali menyampaikan bahwa terdapat 4 empat, yaitu lima hal di atas kecuali doa untuk kaum muslimin.
- Beda halnya dengan Madzhab Maliki, yang menyampaikan bahwa untuk isi pokok khutbah hanya satu saja, yaitu anjuran meningkatkan kesadaran beragama.
- Madzhab Hanafi juga hanya satu saja, ialah asal khutbah itu mengandung dzikir yaitu menyebut asma Allah.
Selain itu, menurut pendapat yang disampaikan oleh Tata Sukayat, secara umum struktur dari teks khutbah yang ideal sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW adalah:
- Dengan mengucapkan hamdalah serta puji-pujian kepada Allah SWT
- Terdapat permintaan pertolongan kepada-Nya
- Berisi suatu permohonan ampunan kepada-Nya
- Memohon perlindungan kepada-Nya
- Membaca 2 kalimat syahadat
- Membaca shalawat kepada Nabi SAW
- Wasiat takwa
- Memberikan peringatan, mengabarkan kabar gembira kepada ummatnya yang taat dan memberi ancaman bagi mereka yang sesat.
- Selain itu memberikan nasehat keagamaan dan kemasyarakatan; serta lainnya.
Syarat Khutbah
Dalam khutbah misalnya khutbah jumat dilaksanakan, diawali dengan diadakan khutbah. Untuk orang yang berkhutbah disebut dengan khatib.
Untuk menjadi seorang khatib atau yang berkhutbah itu tidaklah mudah, sebab terdapat beberapa syarat yang harus dipenuh. Adapun syarat-syarat dari untuk menjadi khatib ialah:
- Paham dengan benar ajaran agama Islam
- Paham seluk beluk khutbah, baik mengenai syarat, rukun dan sunat-sunatnya
- Dapat menyampaikan dan berbicara di public dengan jelas, santun dan gampang dipahami pendengar
- Dewasa/baligh dan dapat menjauhkan diri dari berbagai macam dosa baik yang sifatnya kecil apalagi yang besar
- Mempunyai ilmu keislaman yang mumpuni dan shaleh
Seorang khatib harus mengerti dan paham syarat-syarat dua khutbah Jum’at yaitu:
- Memenuhi syarat dimana khatib harus suci dari hadas dan najis serta menutup aurat
- Khutbahnya dimulai pada waktu setelah matahari tergelincir atau sudah masuk waktu dzuhur
- Khotib berdiri ketika kuasa pada waktu berkhutbah
- Khotib harus melakukan duduk diantara kedua khutbah
- Khutbahnya disampaikan dengan suara lantang, bahasa yang baik dan halus, kata-katanya yang fasih, lancar, teratur, ungkapannya mudah dimengerti sehingga dapat menyentuh jiwa dan perasaan.
- Tertib yaitu berturut-turut dalam rukun-rukunnya maupun antara khutbah pertamadan khutbah ke dua.
Apabila menjadi khatib, juga harus memahami tentang sunat khutbah jum’at. Sunat khutbah jum’at antara lain:
- Khutbah dilakukan saat di atas mimbar atau di tempat yang ditinggikan dan tempatnya di sebelah kanan tempat imam (pengimaman).
- Khatib mengawali dengan mengucapkan salam, setelah itu selanjutnya duduk dan mendengarkan adzan dari muadzin.
- Khatib dalam berkhutbah harus jelas, gampang dipahami, dan khutbahnya sedang ialah tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek.
- Khatib menghadap ke jamaah dan tidak berputar-putar.
- Menertibkan 3 rukun dengan memanjatkan puji-pujian, shalawat dan nasihat taqwa.
Rukun Khutbah
Salah satu syarat sah pelaksanaan shalat Jumat adalah didahului dua khutbah. Ritual khutbah dilakukan sebelum shalat Jumat dikerjakan.
Khutbah Jumat dilakukan 2 kali, di antara khutbah pertama dan kedua dipisah dengan duduk.
Khutbah Jumat memiliki lima rukun yang harus dipenuhi. Kelima rukun tersebut disyaratkan menggunakan bahasa Arab dan harus dilakukan dengan tertib (berurutan) serta berkesinambungan (muwâlah). Berikut ini lima rukun khutbah Jumat beserta penjelasannya.
1. Memuji Kepada Allah di kedua khutbah
Rukun khutbah pertama ini disyaratkan menggunakan kata “hamdun” dan lafadh-lafadh yang satu akar kata dengannya, misalkan “alhamdu”, “ahmadu”, “nahmadu”. Demikian pula dalam kata “Allah” tertentu menggunakan lafadh jalalah, tidak cukup memakai asma Allah yang lain. Contoh pelafalan yang benar misalkan: “alhamdu lillâh” “nahmadu lillâh”, “lillahi al-hamdu”, “ana hamidu Allâha”, “Allâha ahmadu”. Contoh pelafalan yang salah misalkan “asy-syukru lillâhi” (karena tidak memakai akar kata “hamdun”), “alhamdu lir-rahmân (karena tidak menggunakan lafadh jalalah “Allah”).
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:
Artinya: “Disyaratkan adanya pujian kepada Allah menggunakan kata Allah dan lafadh hamdun atau lafadh-lafadh yang satu akar kata dengannya. Seperti alhamdulillah, ahmadu-Llâha, Allâha ahmadu, Lillâhi al-hamdu, ana hamidun lillâhi, tidak cukup al-hamdu lirrahmân, asy-syukru lillâhi, dan sejenisnya, maka tidak mencukupi.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-Qawim Hamisy Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011, juz.4, hal. 246)
2. Bershalawat Kepada Nabi Muhammad di kedua khutbah
Dalam pelaksanaanya harus menggunakan kata “al-shalatu” dan lafadh yang satu akar kata dengannya. Sementara untuk asma Nabi Muhammad, tidak tertentu menggunakan nama “Muhammad”, seperti “al-Rasul”, “Ahmad”, “al-Nabi”, “al-Basyir”, “al-Nadzir” dan lain-lain.
Hanya saja, penyebutannya harus menggunakan isim dhahir, tidak boleh menggunakan isim dlamir (kata ganti) menurut pendapat yang kuat, meskipun sebelumnya disebutkan marji’nya. Sementara menurut pendapat lemah cukup menggunakan isim dlamir.
Contoh membaca shalawat yang benar “ash-shalâtu ‘alan-Nabi”, “ana mushallin ‘alâ Muhammad”, “ana ushalli ‘ala Rasulillah”.
Contoh membaca shalawat yang salah “sallama-Llâhu ‘ala Muhammad”, “Rahima-Llâhu Muhammadan (karena tidak menggunakan akar kata ash-shalâtu), “shalla-Llâhu ‘alaihi” (karena menggunakan isim dlamir).
Syekh Mahfuzh al-Tarmasi mengatakan:
Artinya: “Shighatnya membaca shalawat Nabi tertentu, yaitu komponen kata yang berupa as-shalâtu beserta isim dhahir dari beberapa asma Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallama”. (Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011, juz.4, hal. 248).
Ikhtilaf ulama mengenai keabsahan membaca shalawat Nabi dengan kata ganti (isim dlamir) dijelaskan Syekh Mahfuzh al-Tarmasi sebagai berikut:
Artinya: “Mengecualikan sallama-Llâhu ‘alâ Muhammad, rahima-Llâhu Muhammadan dan shallâhu ‘alaihi, maka yang terakhir ini tidak mencukupi menurut pendapat al-mu’tamad (kuat), berbeda dari ulama yang menilai cukup, meskipun didahului marji’nya dlamir. Pendapat al-mu’tamad tersebut senada dengan pendapatnya Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari, Syekh al-Khathib, Syekh al-Ramli dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat lemah yang mencukupkan penyebutan dlamir adalah pendapat sekelompok ulama Yaman, di antaranya Syekh Ahmad bin Muhammad al-Nasyiri dan Syekh Husain bin Abdurrahman al-Ahdal.” (Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011 M, juz IV, hal. 249).
3. Berwasiat Dengan Ketakwaan di Kedua Khutbah
Rukun khutbah ketiga ini tidak memiliki ketentuan redaksi yang paten. Prinsipnya adalah setiap pesan kebaikan yang mengajak ketaatan atau menjauhi kemaksiatan. Seperti “Athi’ullaha, taatlah kalian kepada Allah”, “ittaqullaha, bertakwalah kalian kepada Allah”, “inzajiru ‘anil makshiat, jauhilah makshiat”. Tidak cukup sebatas mengingatkan dari tipu daya dunia, tanpa ada pesan mengajak ketaatan atau menjauhi kemakshiatan.
Syekh Ibrahim al-Bajuri mengatakan:
Artinya: “Kemudian berwasiat ketakwaan. Tidak ada ketentuan khusus dalam redaksinya menurut pendapat yang shahih. Ucapan Syekh Ibnu Qasim ini kelihatannya mengharuskan berkumpul antara seruan taat dan himbauan menghindari makshiat, sebab takwa adalah mematuhi perintah dan menjauhi larangan, namun sebenarnya tidak demikian kesimpulannya. Akan tetapi cukup menyampaikan salah satu dari keduanya sesuai pendapatnya Syekh Ibnu Hajar. Tidak cukup sebatas menghindarkan dari dunia dan segala tipu dayanya menurut kesepakatan ulama”. (Syekh Ibrahim al-bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim, Kediri, Ponpes Fathul Ulum, tanpa tahun, juz.1, hal.218-219)
4. Membaca Ayat Suci Al-Quran Disalah Satu Dua Khutbah
Membaca ayat suci al-Quran dalam khutbah standarnya adalah ayat al-Qur’an yang dapat memberikan pemahaman makna yang dimaksud secara sempurna. Baik berkaitan dengan janji-janji, ancaman, mauizhah, cerita dan lain sebagainya.
Seperti contoh:
Artinya: “Wahai orag-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bersamalah orang-orang yang jujur”. (QS. at-Taubah: 119).
Tidak mencukupi membaca potongan ayat yang tidak dapat dipahami maksudnya secara sempurna, tanpa dirangkai dengan ayat lainnya. Seperti:
Artinya: “Kemudian dia memikirkan” (QS. Al-Muddatsir ayat 21).
Membaca ayat al-quran lebih utama ditempatkan pada khutbah pertama.
Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:
Artinya: “Rukun keempat adalah membaca satu ayat yang memberi pemahaman makna yang dapat dimaksud secara sempurna, baik berupa janji-janji, ancaman, hikmah atau cerita. Mengecualikan seperti ayat “tsumma nadhara”, atau “abasa” karena tidak memberikan kepahaman makna secara sempurna. Membaca ayat lebih utama dilakukan di khutbah pertama dari pada ditempatkan di khutbah kedua, agar dapat menjadi pembanding keberadaan doa untuk kaum mukminin di khutbah kedua.” (Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anatut Thalibin, juz.2, hal.66, cetakan al-Haramain-Surabaya, tanpa tahun).
5. Berdoa Untuk Kaum Mukmin di Khutbah Terakhir
Mendoakan kaum mukminin dalam khutbah Jumat disyaratkan isi kandungannya mengarah kepada nuansa akhirat. Seperti “allahumma ajirnâ minannâr, ya Allah semoga engkau menyelematkan kami dari neraka”, “allâhumma ighfir lil muslimîn wal muslimât, ya Allah ampunilah kaum muslimin dan muslimat”.
Tidak mencukupi doa yang mengarah kepada urusan duniawi, seperti “allâhumma a’thinâ mâlan katsîran, ya Allah semoga engkau memberi kami harta yang banyak”.
Syekh Zainuddin al-Malibari mengatakan:
Artinya: “Rukun kelima adalah berdoa yang bersifat ukhrawi kepada orang-orang mukmin, meski tidak menyebutkan mukminat berbeda menurut pendapat imam al-Adzhra’i, meski dengan kata, semoga Allah merahmati kalian, demikian pula dengan doa, ya Allah semoga engkau menyelamatkan kita dari neraka, apabila bermaksud mengkhususkan kepada hadirin, doa tersebut dilakukan di khutbah kedua, karena mengikuti ulama salaf dan khalaf.” (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in Hamisy I’anatut Thalibin, Surabaya, al-Haramain, tanpa tahun, juz.2, hal.66).
Dalam komentarnya atas referensi di atas, Syekh Abu Bakr bin Syatha menambahkan:
Artinya: “Ucapan Syekh Zainuddin, berdoa yang bersifat ukhrawi, maka tidak cukup urusan duniawi, meski khatib tidak hafal doa ukhrawi. Imam al-Ithfihi mengatakan, sesungguhnya doa duniawi mencukupi ketika tidak hafal doa ukhrawi karena disamakan dengan persoalan yang lalu terkait kondisi tidak mampu membaca surat al-fatihah, bahkan dalam persoalan ini lebih utama”. (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in Hamisy I’anatut Thalibin, Surabaya, al-Haramain, tanpa tahun, juz.2, hal.66).
Teknik-Teknik Khutbah
Selain dari isis pokok khutbah, terdapat teknik-tenik atau langkah-langkah dalam melakukan khutbah. Untuk hal itu demikian itu dapat dikutip dari yang disampaikan oleh Larry King. Menurut pendapat Larry King bahwa terdapat 8 ciri-ciri pembicara terbaik ialah:
- Memandang suatu hal dari paradigma yang baru
- Mempunyai cakrawala luas
- Antusias
- Tidak pernah membicarakan mereka sendiri
- Sangat ingin tahu
- Menunjukkan empati
- Memiliki selera humor
- Mempunyai gaya bicara sendiri.
Sedangkan menurut Dale Carnegie, jika menjadi seorang pembicara yang baik, jadilah pendengar yang penuh perhatian. Untuk menjadi menarik, tertariklah kepada orang lain.
Ajukanlah pertanyaan- pertanyaan yang orang lain akan senang menjawabnya. Beri semangat mereka agar berbicara tentang diri mereka dan hasil sukses mereka. Berikut ini empat teknik dalam khutbah, diantaranya:
a. Teknik Persiapan Khutbah
Khutbah haruslah diawali dengan persiapan yang cukup. Hanya orang yang tidak bijaksana yang berkhutbah tanpa persiapan.
Semakin pandai orang berkhutbah, semakin segan dan tidak ingin berkhutbah tanpa persiapan. Bagaimanapun pandainya seseorang dalam dalam beberapa masalah, ia sama sekali tidak dibenarkan mencoba berkhutbah di khalayak umum tanpa persiapan.
Dua persiapan pokok sebelum pelaksanaan pidato adalah persiapan mental kejiwaan untuk berdiri dan berbicara di hadapan audiens serta persiapan yang menyangkut isi pidato yang akan disampaikan.
Jika persiapan mental masih kurang dan belum mantap sehingga pembicara dihinggapi rasa cemas, kurang percaya diri, maka hal ini akan berakibat kacaunya sikap dan kelancaran penyampaian isi pidato.
Sebaliknya, pidato akan kacau jika yang disiapkan hanya mental semata, sedang persiapan isi masih kurang.
Teknik persiapan khutbah ada empat macam, yaitu impromtu, manuskrip, memoriter dan ekstempore. Pertama, pidato impromtu. Yaitu pidato yang disampaikan tanpa persiapan dan hanya mengandalkan pengetahuan dan pengalaman. Pidato ini biasa dilakukan dalam keadaan darurat, mendadak dan tidak terduga.
Persiapan pidato harus dilakukan, namun kondisi yang memaksa seseorang untuk berpidato tanpa adanya persiapan waktu yang cukup.
Inilah yang terjadi pada pidato impromtu. Pidato ini sebisa mungkin harus dihindari, akan tetapi jika keadaan tetap memaksa, maka jika masih ada waktu walaupun sangat sedikit digunakan untuk membuat garis besar atau rencana pidato dalam pikiran atau kertas-kertas kecil yang ada pada pembicara.
Bagi pembicara yang berpengalaman, impromtu memiliki beberapa keuntungan, yaitu: 1) Lebih dapat mengungkapkan perasaaan pembicara sebenarnya, karena ia tidak memikirkan lebih dulu pendapat yang disampaikan; 2) Ide dan opininya datang secara spontan, sehingga tampak segar dan hidup; dan 3) Impromtu memungkinkan pembicara terus berpikir.
Sedangkan kerugiannya dapat menghilangkan keuntungan- keuntungan di atas, terutama bagi pembicara yang masih pemula, yaitu: 1) Impromtu dapat mengakibatkan konklusi yang mentah; 2) Impromtu menimbulkan penyampaian yang tersendat-sendat dan tidak lancar; 3) Inisiatif yang disampaikan bisa “acak-acakan” dan ngawur; dan 4) Sebab tiadanya persiapan, kemungkinan “demam panggung” besar.
Kedua, pidato manuskrip (membaca atau naskah) adalah pidato dengan menggunakan naskah yang telah dibuat sebelumnya dan biasnya dipakai pada acara-acara resmi yang dibacakan secara langsung.
Cara demikian dilakukan agar tidak terjadi kekeliruan, karena setiap kata yang disampaikan dalam situasi dan kondisi resmi akan disebarluaskan dan dijadikan panutan oleh masyarakat serta dikutip oleh media massa.
Karena pembicara membacakan naskah pidato dari awal hingga akhir, maka lebih tepat menyebutnya “membacakan pidato” dan bukan “menyampaikan pidato”.
Pidato manuskrip tentu saja bukan jenis pidato yang baik walaupun memiliki keuntungan-keuntungan sebagai berikut: 1) Kata-kata dapat dipilih sebaik-baiknya sehingga dapat menyampaikan makna yang tepat; 2) Pernyataan dapat hemat, karena dapat disusun kembali; 3) Kefasihan bicara dapat dicapai, karena kata-kata sudah disiapkan; 4) Hal-hal yang ngawur atau yang menyimpang dapat dihindari; dan 5) Manuskrip dapat diterbitkan dan diperbanyak.
Jika ditinjau menurut proses komunikasi, kekurangannya cukup berat: 1) Komunikasi pendengar akan berkurang, karena pembicara tidak berbicara langsung kepada mereka; 2) Pembicara tidak dapat melihat pendengar dengan baik, sehingga akan kehilangan gerak dan bersifat kaku; 3) Umpan-balik dari pendengar tidak dapat mengubah, memperpendek dan memperpanjang pesan; dan 4) Pembuatannya lebih lama dan sekadar menyiapkan outline- nya saja.
Ketiga, pidato memoriter (menghafal) adalah pidato yang dilakukan dengan membuat rencana pidato lalu menghafalkannya kata per kata. Naskah yang dibuat sebelumnya bukan untuk dibaca.
Keuntungan pidato ini ialah komunikasi pendengar dengan pembicara lebih baik, karena pembicara berbicara langsung kepadanya; pesan dapat fleksibel untuk diubah sesuai dengan kebutuhan dan penyajiannya lebih spontan.
Bagi pembicara yang belum ahli, kerugian-kerugian berikut ini bisa terjadi: persiapan kurang baik bila dibuat terburu-buru; pemilihan bahasa yang jelek; kefasihan terhambat karena kesukaran memilih kata dengan segera; kemungkinan menyimpang dari out-line; dan tentu saja tidak dapat dijadikan sebagai bahan penerbitan. Beberapa kekurangan pidato ini yang disebut terakhir, sebenarnya dengan mudah diatasi melalui latihan-latihan yang intensif.
Jika khatib sudah siap dalam hal mental dan isi khutbah, ada baiknya jika disertai dengan doa sebagai penguatan spritual. Hal ini dilakukan agar menambah kepercayaan diri dalam menyampaikan pesan-pesan khutbah.
b. Teknik Pembukaan Khutbah
Menurut Jalaluddin Rakhmat, ada beberapa teknik membuka pidato, yaitu: 1) Langsung menyebutkan topik pidato; 2) Melukiskan latar belakang masalah; 3) Menghubungkan dengan peristiwa mutakhir; 4) Menghubungan dengan peristiwa yang sedang diperingati; 5) Menghubungkan dengan tempat atau lokasi pidato; 6) Menghubungkan dengan emosi audiens; 7) Menghubungkan dengan kejadian sejarah; 8) Menghubungkan dengan kepentingan vital audiens; 9) Memberikan apresiasi pada audiens; 10) Memulai dengan pernyataan yang mengejutkan; 11) Mengajukan pertanyaan provokatif; 12) Menyatakan kutipan baik dari kitab suci maupun perkataan tokoh; 13) Menceritakan pengalaman pribadi; 14) Mengisahkan cerita faktual atau fiktif; 15) Menyatakan teori; serta 16) Membuat humor.
Menurut Dale Carnegie Ada beberapa teknik untuk membuka ceramah dan pidato, yaitu: 1) Membangkitkan rasa ingin tahu; 2) Menceritakan pengalaman menarik; 3) Memulai dengan contoh yang jitu; 4) Mengajukan pertanyaan; 5) Mengutip perkataan orang-orang terkenal; 6) Menjalin pokok pidato kita dengan hal-hal yang dianggap paling penting bagi pendengar; dan 7) Menyebut peristiwa- peristiwa yang menggoncangkan.
Sedangkan menurut Syahroni Ahmad Jaswadi, ada 6 untuk membuka ceramah, yaitu: 1) Membuka pidato dengan humor; 2) Membuka dengan setengah humor dan setengah serius; 3) Memperkenal diri pribadi; 4) Memberikan pendahuluan secara umum; 5) Memberikan ilustrasi; dan 6) Menyebutkan fakta dari audiens.
Menurut Dori Wuwur Hendrikus, teknik membuka pidato yang baik memiliki beberapa karakteristik, yaitu: 1) Tidak terlalu panjang; 2) Jelas dan menyenangkan; dan 3) Jangan memulai pidato dengan “kalau” “andaikan”. Ia juga memberikan beberapa petunjuk untuk memulai pidato, yaitu 1) Mulailah setenang mungkin; 2) Pikirkan sesuatu yang positif untuk menghilangkan rasa takut; 3) Jangan memulai pidato dengan membaca dan terikat pada teks namun bicaralah dengan bebas; 4) Jangan memulai dengan meminta maaf; 5) Sebaiknya memulai dengan nada positif; 6) Berusahalah untuk menarik perhatian audiens dan menciptakan kontak dengan mereka; 7) Mulailah pidato dengan cara lain, tetapi menarik. Artinya tak selalu memulai dengan rumusan – rumusan umum yang selalu sama; 8) Bernafaslah dengan tenang sebelum berpidato; dan 9) Mulailah berpidato jika seuruh ruangan sudah tenang.
c. Teknik Penutupan Khutbah
Pembukaan dan penutupan ceramah adalah bagian yang sangat menetukan. Jika pembukaan ceramah harus dapat mengantarkan pikiran dan menambahkan perhatian kepada pokok pembicaraan, maka penutupan harus memfokuskan pikiran dan gagasan pendengar kepada gagasan utamanya.
Menurut Jalaluddin Rakhmat, ada beberapa teknik menutup pidato, yaitu: 1) Mengemukakan ringkasan pidato; 2) Menyatakan kembali gagasan dengan kalimat yang singkat dan berbeda; 3) Mendorong audiens untuk bertindak; 4) Mengakhiri dengan klimaks; 5) Menyatakan kutipan kitab suci, sajak, peribahasa dan ucapan para ahli; 6) Menceritakan contoh yang berupa ilustrasi dari tema pembicaraan; 7) Menjelaskan maksud sebenarnya pribadi pembicara; 8) Memuji dan menghargai audiens; 9) Membuat pernyataan yang humoris.
d. Teknik Pemilihan Bahasa Khutbah
Begitu pentingnya bahasa, sehingga dalam Al-Quran ditemukan prinsip-prinsip bahasa, yaitu qaulan ma’rufan (bahasa yang penuh nilai kebaikan), qaulan sadidan (bahasa yang tegas), qaulan balighan (bahasa yang penuh makna), qaulan kariman (bahasa yang penuh penghargaan), qaulan maisuran (bahasa yang mudah) dan qaulan layyinan (bahasa yang lemah lembut).
Di lain sisi, seorang pembicara sering menyatakan terdapat “masalah bahasa” yang dihadapi. Dengan demikian, ketika tampil pembicara harus membuat pilihan saat menyandi gagasan dan perasaan ke dalam kata-kata.
Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa pilihan yang dibuat itu menuntut perhatian yang cermat. Pertama, bahasa digunakan untuk menyatakan diri sebagai seorang pembicara.
Kedua, bahasa digunakan untuk mengkomunikasikan makna atau maksud pesan-pesan pembicara. Ketiga, bahasa digunakan untuk mengomunikasikan perasaaan dan nilai-nilai pembicara.
e. Efektivitas Khutbah
Kelebihan metode khutbah antara lain: a) Pesan khutbah dapat disampaikan dalam waktu singkat sebanyak-banyaknya; b) Khatib dapat menggunakan pengalaman, keistimewaan dan kebijaksanaan yang dimiliki, sehingga audiens mudah tertarik dan menerima ajarannya; c) Khatib lebih mudah menguasai seluruh audiens; d) Jika disampaikan dengan baik, dapat memotivasi audiens untuk mempelajari pesan khutbah yang disampaikan; e) Khutbah yang baik adalah khutbah yang memberikan kesan positif bagi orang-orang yang mendengar khutbah tersebut.
Khutbah yang baik yaitu: khutbah yang saklik, khutbah yang jelas, khutbah yang hidup, khutbah yang memiliki tujuan, khutbah yang memiliki klimaks, khutbah yang memiliki pengulangan, khutbah yang berisi hal-hal yang mengejutkan, khutbah yang dibatasi serta khutbah yang singkat.
Demikianlah informasi mengenai Pengertian Khutbah, Syarat, Rukun Khutbah & Tata Cara Khutbah. Semoga informasi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Sekian dan terima kasih. Salam Berbagi Teman-Teman.