Penistaan Agama – Secara umum, yang dimaksud dengan Hukum penistaan agama adalah suatu aturan yang tidak memperbolehkan dalam penistaan agama.
Maksud dari hal ini ialah dimana tidak boleh melakukan penghinaan atau tindakan tidak sopan terhadap tokoh suci, kelompok agama, benda suci kepercayaan dan adat.
Diketahui sepanjang sejarah, hukum penistaan agama merupakan hukum tertentua yang sampai saat ini tetap bertahan.
Mengacu kepada Pew Research Center yang mengungkapkan bahwa terdapat seperempat negara yang ada di dunia atau sekitar 26% ternyata mempunyai hukum atau kebijakan yang anti penistaan terhadap sebagaimana dalam data 2014.
Macam-macam negara, ternyata hukum penistaan agama digunakan untuk melindungi agama mayoritas. Sedangkan untuk dinegara lain, ternyata hukum digunakan untuk menjamin perlindungan terhadap agama minoritas.
Tidak hanya itu, apabila terjadi suatu penistaan agama atau pencemaran, maka seseorang pelanggar wajib untuk melakukan ganti rugi kepada orang-orang yang merasa tersinggung.
Pada dasarnya, larangan-larangan yang dimaksud dalam penistaan agama ini cukup sederhana walaupun sampai saat ini masih banyak yang melanggarnya, seperti tidak boleh melakukan permusuhan terhadap agama dan kelompok agama.
Tidak hanya itu, setiap orang tidak boleh mencoreng agama dan pemeluknya, bahkan merendahkan agama begitu pula juga terjadi bagi pemeluknya. Apalagi mengungkit-ungkit dengan nada yang menyinggung ketaatan beragama.
Ada banyak negara, misalnya saja mengacu pada Denmar dimana hukum penistaan agamanya ternyata tidak memidanakan “ujaran yang bentuknya kritik“, melainkan akan memidanakan ketika “ujaran itu berbentuk hinaan“.
Walaupun tidak menekankan hukum penistaan agama secara jelas, namun apabila merujuk pada hukum internasional misalnya saja pada pasal 20 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik Internasional dimana setiap negara mengesahkan aturan yang menolah “setiap gerakan yang mengusung kebencian bangsa, rasa, atau agama yang dapat menimbulkan adanya diskriminal, permusuhan, atau suatu kekerasan,”.
Asal 19 Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik Internasional (ICCPR) yang terjadi pada tahun 1976 dimana mewajibkan setiap negara penandatangan untuk menjamin hak setiap orang untuk beropini tanpa adanya larangan dan menjamin hak bebas berbicara, menyebarkan macam-macam informasi dan gagasan, dalam bentuk lisan, tulis atau cetak, seni, atau media lain.
Sedangkan melihat penjelasan dalam Paragraf 3 Pasal 19. Dalam pasal ini jelas mengizinkan adanya batasan setiap orang dalam melakukan kebebasan ekspresi yang dianggap perlu dan tercantum dalam undang-undang untuk melindungi reputasi pihak lain.
Selain itu, diperlukan untuk melindungi keamanan nasional atau ketertiban yang ada dimasyarakat. Tidak sampai disitu penjelasan pada Praragraf 3 Pasal 19 yang juga menjelaskan dimana juga mengacu pada kesehatan atau moral masyarakat.
Kemudian pada Pasal 20 dimana mewajibkan seluruh negara yang bertandatangan untuk melakukan pelarangan yang berupa “propaganda perang atau gerakan yang mengusung kebencian bangsa, ras, atau agama yang dapat menimbulkanya adanya tindakan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan.”
Pada Juli 2011, UN Human Rights Committee menyampaikan suatu pernyataan 52 paragraf yang berjudul Komentar Umum 34 Tentang Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik Internasional tentang kebebasan beropini dan berekspresi.[206] Paragraf 48 menyatakan:
“Larangan terhadap sikap tidak sopan terhadap suatu agama atau sistem kepercayaan, termasuk hukum penistaan agama, tidak cocok dengan Kovenan ini, kecuali dalam kondisi tertentu yang disebutkan dalam Pasal 20, Paragraf 2. Larangan seperti itu harus mematuhi persyaratan ketat Pasal 19, Paragraf 3, serta Pasal 2, 5, 17, 18, dan 26. Karena itu, hukum seperti ini tidak boleh mendiskriminasi satu atau beberapa agama atau sistem kepercayaan atau pemeluknya atau penganutnya dan non-penganut. Hukum seperti ini juga tidak boleh digunakan untuk mencegah atau menghukum kritik terhadap pemuka agama atau komentar terhadap doktrin dan dasar-dasar agama.”
Organisasi Kerja Sama Islam juga meminta “Perserikatan Bangsa-Bangsa membuat hukum global yang memidanakan penistaan agama”.

Daftar Isi
Pasal 156 KUHP: Apa Itu?
Dalam sejarahnya, ternyata, UU Pasal Penistaan Agama atau 156a dalam KUHP ternyata lahir dengan proses yang begitu panjang dan merupakan berakar dari era kolonial Belanda.
Hal itu terjadi pada tahun 1886, dimana Pemerintah Belanda membuat KUHP sendiri yang nama pada saat itu disebut dengan “Nederlandsch Wetboek Van Straftrech”.
Pada saat itu, KUHP tentang pasal penistaan Agama ternyata terdapat 4 buku yang secara masing-masing diberikan untuk orang-oran tertentu dengan muatannya terdapat pelanggaran-pelanggaran untuk kalangan Eropa dan Indonesia.
Akan tetapi, nama KUHP yang digunakan oleh bangsa Belanda dimana tahun 1918 diganti dengan nama “Wetboek van Straftrecht voor Nederlandsch India”. Sedangkan ketika Jepang menduduki Indoenesia, KUHP berubah nama menjadi “Guinsei Keijirei”.
Tentara Jepang saat itu tidak menghapus KUHP Belanda sehingga di wilayah Indonesia sekarang menjadi Indonesia berlaku dua KUHP.
Ternyata, pada 17 Agustus 1945 pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, kedua KUHP yang digunakan saat sebelum kemerdekaan hingga saat kemerdekaan tidak dihapus dan masih berlaku.
Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA), pasal 156 a diambil dari pasal 124A dan 153A dalam “British Indian Penal Code” yang berisi larangan mengeluarkan pernyataan permusuhan, benci, atau merendahkan.
Sedangkan menurut penjelasan dari guru besar Universitas Krisnadwipayana yang juga merupakan seorang pengacara yaitu Indriyanto Seno Adji. Indriyanto Seno Adji mengungkapkan bahwa pada dasarnya, pasal yang dibuat oleh Belanda sebelum kemerdekaan Indonesia ditujukan untuk memberantas gerakan kebangsaan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dan ternyata, pasal demikian hanya berlaku di Indonesia sedangkan untuk di Belanda tidak diadopsi pasal demikian.
Penegasan mengenai penistaan agama barula terjadi pada era mantan presiden Soekarno. Hal itu sebagaimana yang dituangkan dalam Ketetapan No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
Tujuan Presiden Soekarno pada saat itu ialah untuk mengakomodir permintaan dari organisasi-organisasi Islam yang ingin melarang aliran kepercayaan. Sebab dianggap aliran kepercayaan bsa menodai agama yang ada di Indonesia. Ketetapan Soekarno akhirnya disarikan menjadi pasal 156a KUHP.
Bunyi Pasal 156 KUHP
Barang siapa di rnuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa hagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bcrsifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Contoh Kasus Penistaan Agama
Sebagai suatu aturan tertua yang sampai saat ini masih ada, membuat pelanggaran-pelanggaran tentang penistaan agama banyak terjadi dan bahkan walaupun sederhana ternyata banyak melibatkan pejabat publik dan warga biasa yang dengan kerugian yang cukup besar.
Dampak dari penistaan agama sudah banyak mengisi sajian pertelevisian Indonesia. Misalnya saja kasus yang menimpa Ahok. Selain dari itu masih banyak lagi contoh-contoh kasus tentang pelanggaran atau penistaan agama. Adapun macam-macam contoh kasus penistaan agama ialah:
- Ada banyak contoh kasus penistaan agama yang terjadi di Indonesia misalnya saja pada Agustus 2018, dimana Pengadilan Negeri Medan memberikan vonis kurungan penjara 1 tahun 6 bulan untuk Meiliana yang merupakan warga Tanjung Balai atas penistaan agama. Vonis ini dijatuhkan sebab hakim menilai terbentuk melanggar Pasal 156(a) karena mengeluhkan volume suara azan yang berkumandang di dekat rumahnya.
- Kembali lebih kebelakang lagi, pada Mei 2018 seorang mantan pendeta bernama Abdraham Ben Moses. Pelaku terbentuk bersalah hingga dijatuhi hukuman penjara selama empat tahun atas penistaan agama dan mendapatkan dengan sebanyak 50 Juta Rupiah. Kasus yang ia lakukan ialah menyebarkan ajaran kristen kepada seorang muslim.
- Hingga yang paling menggemparkan seluruh Indonesia dan bahkan Dunia ialah Kasus Gubernur Jakarta yang saat itu masih berstatus gubernur. Kasus penistaan yang biasa disapa Ahok ini terjadi pada Bulan Mei 2017. Gubernur DKI Jakarta ini diketahui sumber atau awal penistaan agama yang dilakukan pada saat menyampaikan pidato kontroversial saat sedang menjelaskan proyek pemerintah di Kepulauan Seribu. Ia mengutip sebuah ayat Quran. Lawan politiknya mencap pidatonya menista agama dan melaporkan Basuki ke polisi. Hingga Pengadilan Negeri Jakarta Utara ternyata menyatakan bersalah dengan penistaan agama Islam yang kemudian mendapat hukuman penjara selama 2 tahun.
- Kemudian yang terjadi pada Januari 2012, dimana saat itu seseorang pemuda yang menuliskan status Facebooknya yang mengatakan bahwa Tuhan tidak ada. Pria tersebut bernama Alexander Aan. Hingga ternyata pria ini terbukti bersala sampai dipenjara karena dinilai adalah ateisme yang dinilai “melanggar hukum Indonesia yang dilandasi prinsip dasar negara”.
- Pada 6 Mei 2010, terdapat seseorang yang mengaku dirinya sebagai nabi dan pernah mengunjungi surga tahun 1975 dan 1997. Atas hal itu, pria bernama Bakri Abdullah dijatuhi hukuman oleh pengadilan penjara selama 1 tahun.
- Tidak berhenti disitu, melalui fatwa yang dikeluarkan oleh MUI bahwa Lia Aden telah terbukti melakukan ajaran sesat, yang kemudian pada tanggal 2 Juni 2009, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan untuk menjatuhkan vois hukuman yang namanya juga dikenal dengan nama Lia Aminuddin atau Syamsuriati, atas penistaan agama selama dua tahun enam bulan. Walaupun sebelumnya pada 29 Juni 2006 ternyata Eden dipenjara selama 16 bulan atas tuduhan yang sama.
- Tanggal 9 Desember 2008, dimana dampak yang ditimbulkan dari penistaan agama yang terjadi di Masohi, Maluku Tengah sangat besar yang data terhitung terdapat ratusan pengunjuk rasa Muslim merusak 67 rumah, 1 gereja, 1 aula, dan melukai 5 orang. Menurut penyampaikan pelaku banyak ia melakukan hal itu bukan tanpa sebab, pasalnya seorang bernama Welhelmina Holle yang juga seorang guru menistakan agama saat jam ekstrakurikurikuler di Sekolah Dasar sampai Polisi mengambil kesimpulan untuk menangkap Holle atas tuduhan penistaan agama dan dua pria Muslim karena memancing kerusuhan.
- Pada April 2008, pengadilan menjatuhkan hukuman penjara empat tahun kepada Ahmad Moshaddeq, pemimpin sekte Al-Qiyadah al-Islamiyah, dengan tuduhan penistaan agama. Tanggal 2 Mei 2008, Pengadilan Negeri Padang menjatuhkan hukuman penjara tiga tahun kepada Dedi Priadi dan Gerry Lufthi Yudistira, anggota Al-Qiyadah al-Islamiyah, sesuai Pasal 156(a).
- Tanggal 11 November 2007, Mahkamah Agung Indonesia menjatuhkan hukuman penjara tiga tahun kepada Abdul Rahman, anggota senior sekte Lia Eden, atas penistaan agama karena ia mengaku reinkarnasi Nabi Muhammad.
- Bulan April 2007, Kepolisian Malang menangkap 42 umat Protestan karena menyebarkan “video doa” yang menginstruksikan penontonnya meletakkan Quran di lantai dan memohon agar pemimpin politik Muslim Indonesia pindah agama. Pada September 2007, pengadilan daerah menyatakan mereka bersalah atas penistaan agama dan menjatuhkan hukuman penjara lima tahun.
- Tanggal 10 April 2007, Kepolisian Pasuruan menangkap dua orang, Rochamim (atau Rohim) dan Toyib. Toyib adalah pengikut Rochamim yang, menurut penduduk setempat, mengatakan bahwa Islam adalah agama Arab; salat lima waktu tidak perlu; dan Quran penuh kebohongan. Toyib dijerat Pasal 156(a) karena ia menyebarluaskan perkataan Rochamim.
- Tanggal 28 Juni 2006, Pengadilan Negeri Polewali, Sulawesi Selatan, menjatuhkan hukuman penjara enam bulan kepada Sumardi Tappaya, guru agama Islam SMA, atas ajaran sesat setelah seorang anggota keluarga menuduhnya bersiul saat beribadah. MUI setempat menyatakan bersiul sebagai tindakan melenceng.
- Bulan Mei 2006, pers melaporkan bahwa DPRD Banyuwangi setuju mendepak Bupati Banyuwangi, Ratna Ani Lestari. Anggota yang setuju menuduh Ratna, seorang Muslim, menistakan agama Islam dengan mempraktikkan agama selain yang tertera di KTP-nya. Pendukung Ratna menyatakan bahwa Ratna menjadi sasaran kampanye kotor karena suaminya beragama Hindu.
- Bulan November 2005, Kepolisian Madura menangkap seorang pria karena menistakan agama setelah ia secara terbuka mempraktikkan Islam nontradisional. Pengadilan menjatuhkan hukuman penjara dua setengah tahun kepada pria tersebut.
- Bulan Oktober 2005, Kepolisian Sulawesi Tengah menggeledah rumah sekte Mahdi setelah warga dari desa lain mengeluh karena pengikut sekte tersebut tidak berpuasa atau beribadah di bulan Ramadan. Tiga polisi dan dua pengikut sekte tewas. Pengadilan mengadili lima anggota Mahdi karena membunuh polisi. Pada Januari 2006, para anggota Mahdi dijatuhi hukuman penjara selama 9 sampai 12 tahun.
- Bulan September 2005, pengadilan daerah di Jawa Timur menjatuhkan hukuman penjara lima tahun ditambah tiga tahun kepada enam pengurus klinik kanker karena menerapkan metode penyembuhan paranormal yang bertentangan dengan prinsip dasar Islam. MUI setempat mengeluarkan fatwa bahwa metode yang digunakan klinik itu sesat. Polisi menangkap mereka ketika mereka sedang mempertahankan diri dari ratusan orang yang merusak klinik.
- Bulan Agustus 2005, Pengadilan Negeri Malang menjatuhkan hukuman penjara dua tahun kepada Muhammad Yusman Roy karena berdoa dalam bahasa Indonesia. Menurut MUI, tindakan ini menodai kesucian Islam yang berlandaskan bahasa Arab. Roy dibebaskan tanggal 9 November 2006 setelah menjalani masa kurungan selama 18 bulan.
- Bulan Juni 2005, polisi menangkap dosen Universitas Muhammadiyah Palu atas ajaran sesat. Ia ditahan selama lima hari sebelum ditahan di rumah setelah dua ribu orang memprotes editorialnya yang berjudul “Islam, Agama Gagal”. Editorial ini menyoroti penyebaran korupsi di Indonesia. Ia dibebaskan dari status tahanan rumah dan diberhentikan oleh universitas.
Demikianlah informasi mengenai Penjelasan Pasal Penistaan Agama dan Pasal 156 KUHP Serta Contoh Kasusnya. Semoga informasi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Sekian dan terima kasih. Salam berbagi teman-teman.